Laporan keuangan PJAA tahun 2024 ini bisa dikatakan jelek mirip wahana Tornado di Dufan yang muter-muter, bikin pusing, dan akhirnya jatuh ke bawah dengan keras. Laba anjlok -26.9% dari Rp241,3 Miliar ke Rp176,3 Miliar, yang kalau diibaratkan manusia, ini kayak orang yang gajinya turun drastis tapi tetap hobi belanja.
Bedanya, ini bukan cuma soal gaya hidup, tapi soal strategi bisnis yang bikin keuangan makin nyungsep. Jadi, kenapa laba PJAA bisa anjlok? Ini bukan sekadar “oh, mungkin pengunjung sepi” atau “bisnis properti lagi lesu”. Ini kombinasi dari berbagai masalah yang terakumulasi : revenue yang stagnan, beban operasional yang membengkak, utang yang semakin berat, pajak yang makin mencekik, dan strategi keuangan yang bisa dibilang setengah hati.
Atau bisa jadi memang kalah saing sama PIK 2 PANI yang lebih ramai yang sama – sama di Jakarta Utara. Pendapatan PJAA memang hanya turun -0.6%, dari Rp1,27 Triliun ke Rp1,26 Triliun. Kalau sekilas, mungkin orang awam bakal bilang, “Yaelah, turunnya cuma dikit doang.” Tapi jangan tertipu. Kalau revenue stagnan, tapi biaya produksi dan operasional malah naik, ya itu bencana.
COGS (Beban Pokok Pendapatan dan Beban Langsung) naik +3.9% jadi Rp599,1 Miliar. Ini artinya, buat dapetin pendapatan yang hampir sama dengan tahun lalu, PJAA harus keluar duit lebih banyak. Yang lebih menyakitkan, beban penjualan dan administrasi (SGA) juga ikut naik. Gaji pegawai naik +8.4%, beban promosi naik +18.7%, dan pengeluaran buat keamanan serta pemeliharaan meningkat +20-30%. Kalau biaya-biaya ini naik tapi nggak ada lonjakan pendapatan yang signifikan, ya akhirnya margin keuntungan makin tipis.
Kalau ada satu faktor yang bikin laba makin tergerus, ini dia: pajak naik edan-edanan. Beban pajak final naik +66.5% jadi Rp28,3 Miliar. Tapi yang lebih parah lagi, pajak dibayar di muka melonjak gila-gilaan +740.1%, dari Rp4,5 Miliar ke Rp37,9 Miliar. Ini ibarat lo harus setor DP mobil gede banget, padahal gaji lo belum naik. Arus kas langsung jebol.
Hasilnya? Kas bersih dari operasi jeblok -50.1% dari Rp340,6 Miliar ke Rp170,1 Miliar. Jadi, meskipun perusahaan masih menghasilkan arus kas operasional positif, jumlahnya merosot drastis. Ini kayak orang yang masih bisa nabung, tapi jumlahnya makin dikit karena banyak pengeluaran nggak terduga.
Kalau ada satu bagian dari laporan keuangan yang bikin ngelus dada, ini dia: utang makin gila-gilaan. Bunga bank memang turun -14.9%, yang mungkin terlihat positif. Tapi jangan senang dulu. Bunga obligasi malah naik +44.9%, jadi Rp28,9 Miliar. Kenapa? Karena PJAA makin banyak ngutang lewat obligasi.
Utang bank jangka pendek naik +498.3% dari Rp40,9 Miliar ke Rp244,8 Miliar. Utang obligasi meledak dari Rp65,2 Miliar ke Rp564,9 Miliar (+767.1%). Ini bukan strategi yang sehat. Mereka geser utang dari pinjaman bank ke obligasi, yang biasanya lebih mahal bunganya. Kalau nggak segera dikelola dengan baik, ini bisa jadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak.
Pariwisata adalah segmen terbesar PJAA, dengan pendapatan Rp950,9 Miliar (75% dari total revenue). Tapi banyak masalah disini seperti :
1. Beban operasional tinggi – Mulai dari pajak hiburan yang besar, biaya promosi, sampai pemeliharaan kawasan yang mahal.
2. Keamanan dan kebersihan makin mahal – Ada peningkatan pengeluaran di sektor ini, tapi apakah sebanding dengan manfaatnya?
3. Gaji dan tunjangan naik – Mungkin karena penyesuaian gaji atau rekrutmen pegawai baru, tapi kalau segmen ini tetap rugi, ada yang salah dengan efisiensi pengelolaannya.
Aset PJAA didominasi oleh sektor pariwisata dan real estat, dengan nilai masing-masing Rp2,03 Triliun dan Rp1,27 Triliun. Tapi liabilitas juga nggak kalah besar, terutama di segmen real estat yang punya utang Rp523,77 Miliar. Ini mengindikasikan bahwa proyek-proyek properti belum memberikan hasil yang cukup untuk menutup utangnya.
Kalau dilihat lebih dalam, total liabilitas mencapai Rp1,86 Triliun, yang artinya lebih dari setengah total asetnya dibiayai oleh utang. Ini bukan posisi keuangan yang ideal, apalagi kalau revenue nggak bertumbuh signifikan.
Jadi, kenapa laba PJAA anjlok? Karena kombinasi buruk dari pendapatan stagnan, biaya operasional naik, pajak melonjak, dan utang makin berat. Perusahaan ini seperti orang yang terus-menerus harus gali lubang buat nutup lubang, sementara pengeluarannya makin nggak terkendali.
Beberapa skenario yang mungkin terjadi di 2025 :
1. Kalau mereka nggak bisa meningkatkan revenue, laba bisa makin jeblok.
2. Kalau beban pajak dan utang terus naik, tekanan keuangan bakal makin besar.
3. Kalau strategi bisnis tetap seperti ini, dalam beberapa tahun ke depan bisa jadi makin sulit untuk keluar dari tekanan likuiditas.
PJAA masih punya kesempatan buat berbenah, tapi kalau mereka tetap di jalur ini, jangan kaget kalau tahun depan angkanya makin merah. Dan buat investor? Hati-hati, jangan cuma lihat asetnya yang gede, tapi lihat juga apakah utangnya bisa dikelola dengan baik. Kalau nggak, ini bisa jadi jebakan batman yang kapan saja bisa meledak.
Ingin mendapatkan insight eksklusif lainnya dari PintarSaham? Jangan lewatkan kesempatan untuk memperdalam pengetahuan investasi Anda! Klik link berikut ini untuk bergabung dan mulai perjalanan finansial Anda https://bit.ly/NewsLetterPintarSaham




